Bagian V: Perantau Langit
Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan
“Nawawi… jangan bersedih.
Kadang Allah menutup satu pintu masjid, agar kau bisa membangun seribu surau di tanahmu sendiri.
Pergilah sementara.
Makkah tak akan kehilanganmu, tapi Tanara mungkin menunggumu.”
Aku mencium tangannya lama, sangat lama.
Seolah waktu berhenti di antara ujung jariku dan telapak tangannya.
Di matanya, aku melihat cinta yang pasrah, seorang guru yang mengizinkan muridnya pergi, bukan karena tak percaya,
melainkan karena tahu: jalan para wali selalu melewati luka.
Malam sebelum aku berangkat, aku duduk sendirian di pelataran Ka‘bah.
Lampu-lampu minyak bergoyang tertiup angin gurun.
Aku menatap bayangan sendiri di lantai marmer,
dan aku tahu: ini bukan pengusiran.
Ini panggilan.
Panggilan untuk menguji makna sabar yang selama ini hanya kubaca dari kitab.
“Ya Allah,” bisikku di antara air mata,
“jika ilmu ini adalah cahaya-Mu,
maka jangan biarkan ia padam hanya karena tiupan manusia.”
Subuhnya, aku berangkat dengan langkah ringan tapi dada berat.
Langit Makkah berwarna keemasan, dan di setiap langkah meninggalkan tanah suci, aku rasakan pasir yang kupijak berbisik pelan:
“Pergilah, anak Tanara.
Kau diusir bukan karena kalah,
tapi karena Allah sedang menyiapkan panggung baru untukmu.”
Pertemuan dengan Mufti Batavia
Aku tiba di Batavia menjelang senja.
Langitnya berwarna tembaga, dan udara laut membawa aroma asin yang mengingatkanku pada Tanara.
Setelah berbulan-bulan di atas kapal, kakiku akhirnya menginjak tanah Nusantara kembali, tanah yang kusebut rumah, meski kini asing oleh gemuruh kota pelabuhan dan denting rantai kapal Belanda.
Aku tak ingin banyak singgah.
Namun, ada kabar yang membuat langkahku tertahan:
sebuah masjid megah di kawasan Pekojan baru saja selesai dibangun, diasuh oleh ulama besar, Sayyid Utsman bin Yahya,
Mufti Batavia yang terkenal alim dan dihormati hingga ke Makkah.
Aku menuju ke sana, sekadar ingin bersilaturrahim dan menumpang salat.
Masjid itu indah, dindingnya putih bersih, atapnya menjulang seperti doa yang terwujud dalam bentuk kayu dan bata.
Namun saat aku berdiri hendak menghadap kiblat, hatiku bergetar aneh.
Ada yang tidak tepat.
Arah masjid itu sedikit miring tidak menuju Ka‘bah, melainkan agak condong ke kiri.
Aku diam, mencoba memastikan.
Kupandangi arah langit, bayangan matahari, dan dalam batinku kulihat garis yang lain, garis tak kasat mata yang kutahu sejak kecil: garis yang menyambung antara Tanara dan Baitullah.
Setelah salat, aku mendekati sang Mufti.
Beliau tinggi, tegap, bersorban putih, wajahnya lembut tapi berwibawa.
Kami saling menyalami.
Beliau tersenyum ramah, tapi di matanya aku melihat tanda tanya.
“Engkau dari mana, wahai anak muda?”
“Dari Tanara, Banten, wahai Sayyid.”
“Ah, tanah para wali,” katanya sambil tersenyum.
“Dan siapa gurumu di Makkah?”
“Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, semoga Allah merahmatinya.”
Sayyid Utsman menatapku dengan lebih dalam.
“Berarti engkau murid dari para masyayikh Haramain…
Aku senang sekali mendengarnya.”
Kami berbincang lama tentang fiqh, tafsir, dan nasib umat.
Hingga akhirnya aku memberanikan diri berkata pelan:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.