Bagian V: Perantau Langit
Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi, kemanusiaan
“Wahai Sayyid, izinkan aku berkata sesuatu…
arah kiblat masjid ini, menurut pengamatanku, sedikit bergeser dari arah Ka‘bah.”
Ruangan hening seketika.
Beberapa jamaah menatapku.
Seorang pemuda dari Banten menegur Mufti Batavia tentang arah kiblat, hal yang bagi sebagian orang tampak nekat, bahkan kurang ajar.
Namun aku tak berniat menantang, aku hanya merasa harus berkata jujur.
Sayyid Utsman bangkit perlahan, matanya tajam tapi teduh.
“Benarkah, wahai Syekh muda?” katanya lembut.
“Bolehkah engkau tunjukkan?”
Aku mengangguk.
Kami keluar ke serambi, berdiri di bawah cahaya jingga senja.
Kupandangi cakrawala, menarik napas panjang, lalu menunjuk jauh ke barat.
“Lihatlah nun jauh di sana, wahai Sayyid,”
kataku sambil mengangkat tangan.
“Itulah Ka‘bah.
Dari tempat kita berdiri ini, jelas arah itu sedikit ke kanan.
Sedangkan dinding masjid ini condong ke kiri.
Maka yang benar, kiblatnya perlu digeser sedikit ke kanan, agar selaras dengan rumah Allah yang mulia.”
Sayyid Utsman terdiam.
Ia menatap ke arah yang kutunjuk lama sekali.
Lalu langkahnya mendekat.
Tiba-tiba ia memegang lenganku, menarikku lebih dekat, dan dengan suara bergetar ia berkata:
“MasyaAllah… benar, benar engkau, wahai Syekh Nawawi.
Aku telah khilaf.”
Aku buru-buru menunduk,
“Tidak, Sayyid. Hamba hanya mengingatkan.”
Tapi beliau sudah tidak mendengar.
Air mata jatuh di janggutnya.
Dan sebelum aku sempat menyingkir,
Mufti Batavia itu yang usianya jauh di atasku, yang tubuhnya besar dan gagah, memelukku erat, menunduk, dan mencium keningku berulang kali.
“Kau cahaya dari Banten,” katanya di antara tangis.
“Kau telah meluruskan bukan hanya kiblat masjid ini, tapi juga arah hatiku.”
Aku terpaku.
Udara senja berubah menjadi air mata.
Orang-orang di sekeliling kami menunduk, beberapa ikut menangis tanpa tahu kenapa.
Di pelukan itu, aku merasakan getar kasih yang lebih dalam dari kata-kata dua hati yang sama-sama mencari ridha Allah, bertemu dalam cahaya yang sama.
Ketika akhirnya beliau melepaskanku, aku menunduk, mencium tangannya dengan penuh hormat.
“Ampunilah keberanianku, Sayyid.”
Ia tersenyum.
“Tidak, anakku. Engkau telah mengajariku malam ini bahwa kebenaran sejati tidak mengenal umur, pangkat, atau gelar.
Ia hanya mengenal hati yang tunduk kepada Allah.”
Malam itu, aku tidur di serambi masjid Pekojan.
Suara ombak Batavia terdengar sayup.
Aku menatap langit, dan di antara bintang yang berkelip, seakan kulihat senyum Sayyid Zaini Dahlan dari Makkah, menyaksikan muridnya menegakkan arah yang benar, bukan hanya pada kiblat batu, tapi juga pada kiblat hati.
Kembali ke Tanara
Subuh itu, langit di Banten berwarna lembayung muda.
Kabut tipis menyelimuti sawah yang berembun, dan dari kejauhan terdengar kokok ayam bersahutan.
Perahu kecil yang kutumpangi merapat di muara Sungai Ciujung, sungai yang dahulu menjadi tempatku mandi, berwudu, dan menghafal surah-surah pertama bersama ayahku.
Langkahku pelan.
Tanah ini masih sama: basah, harum, dan berzikir dalam diam.
Aku menapaki jalan kecil menuju Tanara, melewati hamparan pohon kelapa yang berbaris seperti penjaga tua yang mengingat masa silam.
Di setiap langkah, kenangan masa kecil menyeruak seperti angin pagi, suara ibu memanggil, tawa adik-adik, dan surau kecil di pinggir sawah tempat ayah mengajar anak-anak desa membaca huruf alif.
Di ujung jalan, kulihat sosok perempuan renta berselendang putih menatap dari serambi rumah.
Wajahnya menua, tapi matanya masih sama teduh dan bening.
Itu ibuku, Siti Zubaedah.
Ia berlari kecil dengan langkah gemetar, dan sebelum sempat aku berkata apa-apa,
pelukannya sudah menyelimuti seluruh tubuhku.
“Anakku… akhirnya pulang juga kau, Nawawi…”
Tangisku pecah di bahunya.
Aku mencium tangannya, lalu keningnya, dan di sela isaknya ia berkata pelan:
“Aku tahu kau akan kembali.
Pohon kelapa itu sudah lama berbuah, tanda doa kita telah sampai ke langit.”
Aku menatap halaman.
Benar, pohon kelapa yang dulu kutanam bersama ibu kini menjulang tinggi, buahnya bergelantungan, daunnya melambai seolah menyambutku pulang.
Di antara desir angin, aku mendengar bisikan yang hanya hati para wali yang bisa mendengar:
“Tugasmu belum selesai, wahai anak Tanara.”
Berita kepulanganku menyebar cepat.
Dari pagi hingga malam, orang-orang berdatangan: petani, nelayan, santri, bahkan para janda tua yang dulu sering diberi sedekah ayahku.
Mereka datang membawa nasi tumpeng, telur rebus, daun sirih, dan air mata.
Surau peninggalan ayahku kembali ramai.
Azan berkumandang, dan di sela suaranya terdengar isak haru yang tak bisa disembunyikan.
Aku mulai mengajar.
Mula-mula hanya di serambi rumah, tapi tak lama santri mulai berdatangan dari desa lain:
Lopang, Kramatwatu, Ciomas, Tanagara, bahkan dari seberang Kali Cidurian.
Surau kecil itu tak lagi cukup menampung mereka.
Malam-malam penuh cahaya pelita, lantai bambu berderit di bawah kaki ratusan santri yang mengaji.
Melihat itu, aku melakukan istikharah.
Dan dalam tidur yang penuh cahaya, aku bermimpi melihat lautan tenang, luas, dan di tepinya ada sebidang tanah yang belum tersentuh siapa pun.
Ketika aku terbangun, aku tahu, itulah isyarat.
Beberapa hari kemudian, aku menunggang kuda menuju pesisir.
Di antara nyiur yang bergoyang, kutemukan sebuah tanah lapang menghadap ke laut Jawa.
Angin dari barat membawa aroma garam dan doa.
Aku menunduk, mencium tanah itu, dan berbisik:
“Di sinilah, insyaAllah, pohon ilmu akan kutanam.”
Di tanah itu aku mendirikan Masjid dan Pondok Tenara Pesisir.
Bangunannya sederhana, dari bambu dan kayu kelapa.
Tapi setiap batangnya kutegakkan dengan doa, setiap gentingnya kutata dengan harapan agar di bawah atap ini lahir manusia-manusia yang mencintai ilmu dan negeri.
Santri berdatangan.
Sebagian dari mereka anak yatim, sebagian pelarian dari penjajahan Belanda,
tapi semua datang dengan hati yang lapar akan ilmu.
Setiap fajar, kami salat berjamaah, lalu mengaji hingga matahari naik.
Siangnya kami menulis, malamnya kami dzikir hingga kantuk menjemput di atas sajadah.
“Tanah ini dulu diam,” kataku pada seorang santri.
“Kini ia bersuara — suara kitab, suara doa, suara cinta.”
Tanara kembali hidup.
Pasar ramai, sungai bersih, anak-anak menghafal Al-Qur’an di tepian.
Dan dari kejauhan, kadang kulihat serdadu Belanda melintas di jalan besar, menatap curiga ke arah pesantren kami.
Tapi aku tahu, mereka tak bisa menangkap apa yang tak terlihat: bahwa revolusi terbesar bukan di medan perang, melainkan di hati santri yang tahu cara mencintai dengan ilmu dan sabar.
Malam-malam di Tenara Pesisir tak pernah sepi.
Di bawah cahaya bulan, aku menulis di ruang kecil di belakang masjid —
ruangan yang menghadap laut, tempat suara ombak menjadi irama zikir.
Kertas-kertas berserakan, pena bambu menari di atas tinta.
Kadang aku berhenti menulis, menatap langit dan berkata dalam hati:
“Guru, lihatlah muridmu kini menanam ilmu di tepi laut yang dulu kau tunjuk dari puncak Abi Qubais.”
Dan di antara desir angin laut, aku seperti mendengar suara itu menjawab:
“Teruslah menulis, wahai anak Tanara.
Pena adalah pedangmu, dan tinta adalah darah jihadmu.”
Dakwah, Gangguan Belanda, dan Perjalanan Jihad
Hari-hari di Tenara Pesisir mengalir seperti ayat-ayat yang belum selesai dibaca.
Pagi hari, udara membawa suara ngaji para santri, sore hari, angin laut mengantarkan gema azan hingga ke perahu-perahu nelayan yang berlabuh.
Tanara yang dulu sunyi kini menjadi samudera ilmu —
dan di tengahnya, aku hanya perahu kecil yang mengantar mereka menuju Allah.
Namun, setiap cahaya selalu mengundang serangga.
Sejak pondok berdiri, penjajah Belanda mulai gelisah.
Mereka tak paham mengapa tiap minggu ratusan orang datang ke Tanara, mengaji, berdiskusi, dan pulang dengan wajah bercahaya.
Bagi mereka, itu bukan pengajian, melainkan ancaman.
Suatu hari, seorang pejabat Belanda datang ke pesantrenku.
Dengan bahasa Melayu patah-patah, ia berkata:
“Tuan Kiai... kenapa rakyat Tanara makin sulit diperintah? Mereka bilang... ilmu Tuan membuat mereka berani.”
Aku tersenyum pelan.
“Ilmu tidak mengajarkan berontak,” kataku lembut.
“Ia hanya mengajarkan manusia untuk tahu siapa yang pantas ditaati — dan siapa yang pantas ditinggalkan.”
Wajahnya memerah, tapi ia tak menjawab.
Mereka pergi, meninggalkan aroma ancaman di udara.
Aku tahu, sejak saat itu mata-mata Belanda mulai mengintai setiap gerak langkahku.
Meski begitu, dakwah tak berhenti.
Aku berjalan dari satu kampung ke kampung lain, dari satu pesantren ke pesantren lain.
Jika malam tiba dan jalan terlalu jauh, aku tidur di surau, di lumbung padi, atau di tepi sungai.
Kudengar kabar banyak santriku mulai mengajar di berbagai daerah, di Lopang, Purwakarta, bahkan sampai Madura.
Setiap kali mendengar kabar itu, hatiku basah oleh haru.
Namun aku tak pernah hanya duduk menunggu kabar.
Begitu mendengar ada santri yang kini menjadi kiai, aku berangkat menemuinya, bukan untuk menilai, tapi untuk memeluk dan memberi wejangan.
“Janganlah merasa tinggi karena punya murid,” kataku kepada mereka.
“Sebab setiap murid sejatinya adalah cermin, di dalam wajah mereka, Allah menunjukkan seberapa jauh engkau dari kesombongan.”
Mereka menangis, aku pun menangis.
Begitulah perjalanan dakwah: bukan kemenangan di medan perang, melainkan kemenangan dalam menaklukkan ego dan rasa ingin dipuji.
Satu malam, perjalanan dakwah membawaku hingga ke Jawa Tengah.
Aku berjalan sendirian melewati Alas Roban, hutan yang terkenal angker dan sunyi.
Langit sudah hitam, hanya cahaya bulan menembus celah daun.
Kakiku letih, mataku berat.
Kutemukan sebuah gubuk reyot di tengah hutan.
Aku masuk, berbaring, menyalakan pelita kecil, lalu tertidur.
Dalam tidurku, aku bermimpi, seekor ular raksasa datang merayap dari kegelapan.
Matanya berkilat seperti dua lentera, tubuhnya melingkar panjang mengelilingi gubuk.
Aku membaca basmalah, tapi ular itu menunduk, bukan menyerang.
Suara hatiku berbisik: “Ia datang bukan untuk menakutimu, tapi untuk menjagamu.”
Ketika fajar menyingsing dan aku membuka mata, aku mendapati pelita masih menyala, namun yang kulihat membuat jantungku berhenti sejenak, lantai gubuk itu bukan tanah, melainkan kulit bersisik yang lembut dan berkilau seperti perak.
Dan pelita yang kupikir minyaknya berasal dari kaleng, ternyata menyala di antara dua mata ular besar yang diam menatapku dengan kasih.
Aku bangkit, perlahan menyentuh kepala ular itu, dan ia menunduk, menyingkir, lalu merayap ke hutan sambil meninggalkan jejak cahaya di tanah.
Aku tersenyum dan bersujud.
“Subhanallah... bahkan makhluk yang ditakuti manusia pun tunduk jika hatinya mengenal cinta.”
Tiga tahun berlalu sejak kepulanganku dari Makkah.
Pesantren Tenara Pesisir semakin besar, murid datang dari segala arah, dan kabar tentang dakwah kami sampai ke telinga penguasa Batavia.
Hingga pada suatu malam, serdadu Belanda datang membawa surat penangkapan.
Aku dituduh terlibat dalam jaringan para pejuang Sultan Abdul Hamid alias Pangeran Diponegoro.
Aku hanya tersenyum.
“Jika menegakkan ilmu dianggap pemberontakan,
maka biarlah aku menjadi pemberontak yang mencintai ilmu.”
Mereka membawaku pergi.
Di sepanjang jalan, rakyat berteriak, para santri menangis.
Beberapa mencoba melawan, tapi aku memberi isyarat dengan tangan: jangan.
“Kalian jangan mengotori jihad dengan amarah,” kataku tenang.
“Kadang jihad sejati bukan melawan, tapi menunggu dengan sabar sampai Allah sendiri yang memanggil.”
Hari-hari di penjara Batavia dingin dan gelap.
Namun, di dalam kesunyian itu, aku merasa bebas seperti burung di langit.
Tiap malam aku menulis di dinding batu, bukan dengan tinta, tapi dengan dzikir.
Setiap huruf Allah yang kulafazkan menjadi lentera kecil di hatiku.
Dan di suatu pagi, seorang kurir datang membawa surat dari Makkah.
Segelnya dari para ulama Masjidil Haram.
Isinya, permintaan maaf atas fitnah lama yang membuatku diusir, dan kabar gembira bahwa Amir Makkah membuka sayembara keilmuan “I‘rāb lafzh لَا سِيَّمَا.”
Sebuah tanda bahwa dunia ilmu tengah menungguku kembali.
Aku menatap surat itu lama, kemudian menutupnya dengan air mata.
“Ya Allah,” bisikku,
“Engkau keluarkan aku dari penjara ini bukan untuk bebas,
tapi agar aku kembali mengikat diri dalam pengabdian yang lebih luas.”
Malam itu aku bebas.
Bukan karena belas kasihan Belanda, tapi karena takdir yang memanggilku menyeberangi lautan sekali lagi.
Kutatap laut dari pelabuhan Banten.
Angin malam membawa aroma garam dan doa ibu dari kejauhan.
Aku tahu, waktuku di Tanah Air sudah selesai, tapi jihadku baru akan dimulai.
“Kali ini aku tak membawa pedang,” kataku dalam hati.
“Aku hanya membawa pena, senjata yang lebih tajam dari baja, karena ia menembus bukan tubuh, tapi zaman.”
Dan dengan satu tarikan napas panjang, aku menatap laut yang terbentang ke arah barat, arah yang sama ketika dulu aku berangkat muda, tapi kini aku kembali bukan sebagai murid, melainkan sebagai guru yang akan menulis sejarah dari atas pasir Makkah.
Penjara dan Surat dari Makkah
Hari-hari di balik jeruji Batavia seolah tak memiliki matahari.
Cahaya hanya datang dari lubang kecil di dinding, tapi aku tahu, bukan sinar itu yang menerangi, melainkan dzikir yang terus menetes di hati.
Setiap pagi aku mendengar suara rantai diseret, dan di antara suara besi itu, aku melafalkan shalawat Jibril lirih:
“Shallallāhu ‘alā Muhammad… Shallallāhu ‘alayhi wa sallam…”
hingga bibirku basah, dan langit di atas jeruji pun terasa sejuk.
Para tahanan lain memandangku aneh.
Tapi lama-kelamaan, mereka ikut menunduk, mengikuti lafaz itu pelan-pelan, hingga penjara berubah menjadi madrasah, dan setiap dindingnya menjadi kitab sabar yang dibaca dengan air mata.
Aku menulis ayat di hati, bukan di kertas.
Sebab pena tak diizinkan, tapi dzikir tak bisa dilarang.
Aku menulis tafsir kehidupan di udara,menyusunnya dari nafas yang tak pernah putus: bahwa setiap kurungan adalah ruang pengajaran yang Allah ciptakan.
Suatu siang, seorang utusan Belanda datang membawa sepucuk surat bersegel emas.
“Dari Tanah Suci,” katanya singkat.
Tanganku gemetar saat membuka.
Di dalamnya tertulis huruf-huruf yang membuat mataku basah, surat dari para ulama Masjidil Haram.
“Wahai Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani,
kami memohon ampun atas fitnah yang dahulu menimpa dirimu.
Makkah merindukanmu kembali.
Amir Haramain akan mengadakan sayembara ilmu: i‘rāb lafzh ‘lā siyamā’.
Hadirlah, wahai pena dari Tanara, sebab setiap mata menanti guratanmu.”
Aku menutup surat itu dengan dada bergetar.
Di balik segala luka, ternyata masih ada tangan cinta dari langit.
Aku sujud di lantai penjara yang dingin, air mata menetes di tanah lembap.
“Ya Allah, Engkau keluarkan aku bukan untuk bebas dari manusia, tetapi agar aku kembali terikat pada-Mu.”
Malam itu penjaga melihatku tersenyum sendirian.
Mereka mengira aku gila.
Padahal, aku baru saja dibebaskan oleh sesuatu yang lebih besar dari kunci mana pun ampunan dan panggilan Ilahi.
Hijrah Kedua
Laut Banten kembali bersuara malam itu.
Angin berhembus dari barat, membawa aroma garam dan rinduku pada ibu.
Di pelabuhan, sekelompok santri dan penduduk berdiri menatap ke arah kapal yang akan berangkat ke Jeddah.
Tangisan pecah tanpa kata.
Ibuku, Siti Zubaedah, memelukku untuk terakhir kali.
“Pergilah, Nak.
Jangan kembali membawa rindu, kembalilah hanya bila ilmu sudah menjadi pelita dunia.”
Aku menunduk mencium tangannya.
Lalu menatap tanah Tanara, tanah yang menumbuhkan doa, tanah yang kini kutinggalkan demi menanam ilmu di langit.
Ketika layar kapal dikembangkan, ombak berdebur seperti zikir yang menggiringku menuju takdir.
Malam itu bintang bertaburan di langit Jawa, dan satu bintang tampak paling terang di barat daya, seakan mata bumi sendiri mengantar kepergianku.
Tiga bulan kemudian, aku tiba di Jeddah.
Langkahku menjejak pasir Hijaz sekali lagi, dan ketika menatap Ka‘bah dari kejauhan, air mata kembali tumpah, aku pulang, tapi bukan lagi sebagai anak Tanara, melainkan sebagai ulama dunia yang akan menulis peradaban dari jantung Islam.
Di Makkah, para masyayikh menyambutku seperti seorang putra yang lama hilang.
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menatapku dari kejauhan, senyumnya teduh.
“Lihatlah, Nawawi,” katanya,
“kau pernah diusir karena cahaya, kini kau kembali untuk menerangi dunia.”Aku menunduk, menitikkan air mata.
Dan di malam-malam berikutnya, aku menulis bukan untuk diriku, tapi untuk mereka yang belum lahir.
Setiap huruf yang kutulis adalah doa, setiap kitab yang terbit adalah madrasah kecil untuk dunia.
Dari tangan yang dulu memegang dayung perahu di Ciujung, kini mengalir tinta yang menyambungkan Tanara dengan Masjidil Haram.
“Tanah airku tak lagi sekadar tempat aku lahir,”
tulisku dalam hati,
“tapi tempat dunia mengenal makna ilmu dari seorang anak kampung.”
Begitulah aku menulis tanpa berhenti, hingga tinta menjadi darah, dan kata menjadi cahaya yang menembus zaman.
Aku tak kembali lagi ke Tanara, tapi setiap angin yang berhembus dari barat membawa kabar, bahwa di tepi Ciujung, para santri terus membaca kitabku dengan suara lirih,
mengulang jejak langkahku dalam ayat dan makna.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.