RUU Perampasan Aset
Banyak yang Komentar tapi Belum Paham, Mahfud MD Jelaskan Mekanisme Perampasan Aset
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, menyebut banyak pihak yang bicara mengenai mekanisme perampasan aset, namun belum memahami sepenuhnya.
TRIBUNBANTEN.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyebut banyak pihak yang bicara mengenai mekanisme perampasan aset, namun belum memahami sepenuhnya.
Diketahui, hingga saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum juga disahkan menjadi UU oleh DPR RI.
UU ini mengatur agar perampasan aset tidak selalu harus menunggu putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (non-conviction based), terutama dalam kondisi seperti pelaku kabur, hilang, atau belum ditemukan.
Baca juga: Pengamat Hukum Desak DPR RI Segera Sahkan RUU Perampasan Aset: Jangan Tunggu Rakyat Marah
"Saya mengikuti diskusi perampasan aset ini, banyak orang yang berkomentar tapi belum tahu," ungkap Mahfud MD dalam siniar bersama Denny Sumargo yang diunggah di kanal YouTube CURHAT BANG Denny Sumargo, Kamis (11/9/2025).
"Misalnya mengatakan, bahaya tuh Undang-Undang Perampasan Aset. Harta Anda hanya karena Anda dicurigai bisa dirampas," sambungnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan, perampasan aset dalam tindak pidana tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Menurutnya, penyidik maupun polisi tidak memiliki kewenangan merampas aset, melainkan harus melalui putusan pengadilan.
"Misalnya ini ada tindak pidana misalnya ya, rumah ini diindikasikan tindak pidana. Mas Denny pergi entah ke mana, ini rampas dulu biar dia pulang."
"Tetapi perampasan aset ini bukan dirampas oleh polisi. Bukan. Itu pengadilan yang mutus," ungkap Mahfud.
Mahfud menjelaskan, perampasan aset diusulkan oleh penyidik kepada Kejaksaan Agung.
Kemudian, Kejaksaan Agung akan meminta kepada Ketua Pengadilan untuk merampas aset itu.
"Enggak bisa langsung dirampas gitu. Nah, pidananya ya tersangkanya dicari, (dilakukan) beriringan," jelasnya.
Mahfud mengatakan, ada tindak pidana yang mana orang yang dicurigai belum ketemu, namun hartanya sudah dibagi-bagi dan bersertifikat.
"Banyak (yang seperti ini), kayak BLBI (kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ini. Jadi dia melakukan tindak pidana gitu ya, lalu mengambil rumah misalnya milik masyarakat karena, tindakan pelanggar pidananya nih rumah diambil lalu dia sertifikatkan atas nama orang lain."
"Padahal ini harus dirampas lagi kan oleh negara. Tapi ini yang menyertifikatkan ini pelaku pidananya lari gak ketemu. Kan tidak boleh kalau tidak ada Undang-Undang Perampasan Aset," jelas Mahfud MD.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.