BPKP Angkat Bicara soal Auditornya Dilaporkan ke Ombudsman oleh Tom Lembong, Buntut Kasus Impor Gula

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akhirnya angkat bicara soal auditornya atas nama Chusnul Khotimah dilaporkan ke Ombudsman RI.

Editor: Ahmad Tajudin
Google Images/Rudi Rinaldi via Tribunnews
AUDITOR BPKP DILAPORKAN - Penampakan kantor BPKP di Jakarta Timur. Pada Selasa (4/8/2025), Pihak Tom Lembong melaporkan auditor BPKP, salah satunya adalah Chusnul Khotimah, ke Ombudsman. Laporan ini diajukan terkait audit kasus impor gula yang menjerat Tom. 

Sementara itu, Tom Lembong, memastikan tidak akan menuntut ganti rugi dari negara meski mengaku sempat menjalani tahanan selama kurang lebih sembilan bulan di Rutan Kejaksaan Agung.

Alih-alih mengedepankan klaim materi, ia mengajak pihak terkait yakni MA, KY, BPKP, hingga Ombudsman untuk mengadakan evaluasi menyeluruh terhadap proses hukum yang dijalaninya.

Pernyataan ini disampaikan oleh Zaid Mushafi, anggota tim hukum Lembong, saat mengunggah dokumen aduan ke berbagai lembaga pengawas.

Di ranah akademis, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada menyoroti bahwa pertimbangan pemberian abolisi harus berlandaskan argumen hukum yang rasional, bukan sekedar penilaian politis atau pertimbangan pragmatis.

Sebagian lainnya mengingatkan tentang pentingnya memperkuat prinsip checks and balances dalam sistem hukum pidana, terutama jika institusi seperti KY dan MA tidak melakukan follow-up.

"Pertanyaan besar ialah, apakah keluar dari tekanan hukum membuat kasus ini benar-benar selesai, atau justru membuka pintu reformasi hukum?" begitu bunyi sebagian pertanyaan kritis.

Dalam pandangan sebagian ahli yuridis, termasuk Yusril Ihza Mahendra, abolisi yang diberikan kepada Lembong sudah sesuai Konstitusi (Pasal 14 UUD 1945), asalkan disertai pertimbangan dari DPR, hal yang telah dipenuhi Presiden dan legislatif.

Namun ia juga menekankan bahwa legitimasi politik tidak boleh menggantikan kualitas bukti, konstruksi sentensi, atau prinsip keadilan substantif.

Langkah hukum yang diambil Lembong pasca‑abolisi menandai titik kritis dalam hubungan antara eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan Indonesia. Ia tidak menolak putusan hukum, tetapi mengecam apa yang dimungkinkan sebagai distorsi proses.

Di mata publik, ini bukan sekadar pembebasan seorang mantan pejabat, melainkan upaya untuk menegakkan integritas hukum di masa depan.

 

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved