Bagian X: Ketika Pena Menjadi Pedang
Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.
Syarah Safinatun Naja - Jawaban Praktis Atas Masalah Nyata Umat (1277 H)
Bila Ats-Tsimarul Yani‘ah adalah dasar,
maka Kasyifatus Saja adalah fiqh praktis untuk keseharian.
Di sini aku menjelaskan:
bagaimana wudhu di sungai keruh yang digunakan kerbau;
bagaimana shalat Jumat di kampung kecil yang penduduknya belum mencapai 40 orang;
bagaimana tayamum bagi peladang yang berjalan jauh;
zakat padi, zakat kelapa, zakat ikan — sesuatu yang tidak dibahas ulama Timur Tengah;
cara puasa bagi nelayan yang melaut sebelum subuh;
haji orang Nusantara yang harus menempuh perjalanan berbulan-bulan.
Kitab ini lahir karena fiqh harus menjawab realitas, bukan hanya teks.
4. Bahjatul Wasa’il
Syarah Risalah Jami‘ah - Ensiklopedia Mini Iman, Islam, Ihsan (1292 H, Bulaq)
Umat Jawi sering terjebak antara ritual tanpa ruh dan tasawuf tanpa aturan.
Aku ingin mengembalikan mereka kepada keseimbangan.
Karena itu, kitab ini menjelaskan:
iman (apa saja yang wajib diyakini),
Islam (syariat lahiriyah),
ihsan (bagaimana hati menghayati ibadah),
adab murid kepada guru,
adab guru kepada murid,
bagaimana menata niat sebelum ibadah,
bagaimana agar ibadah tidak menjadi rutinitas mati.
Kitab ini adalah jantung kurikulumku.
Tanpa ihsan, fiqh hanyalah tulang tanpa daging.
5. Mirqat Shu‘ūdit TashdiqT
Syarah Sullam at-Taufiq - Peta Adab dan Akhlak Muslim Nusantara (1292 H)
Umara boleh memerintah rakyat,
ulama boleh mengajar santri,
tetapi yang menghidupkan bangsa adalah adab.
Dalam kitab ini kujelaskan:
adab makan,
adab tidur,
adab bergaul,
adab mencari ilmu,
adab bertetangga,
adab menjaga hati,
adab memohon ampun.
Ini kitab yang membentuk karakter santri Nusantara: lembut, sopan, dan beradab.
Tak mungkin pesantren bertahan ratusan tahun tanpa kitab ini.
6. Fathul Mujib
Manasik Haji - Pedoman Orang Jawi yang Pertama Kali Menjejak Hijaz
(1276 H - kitab pertama yang kutulis)
Orang Jawi yang berangkat haji mengalami perjalanan berbeda dengan orang Arab:
mereka menumpang kapal layar,
menghadapi badai di Samudra Hindia,
singgah di Penang dan Gujarat,
membawa bekal dari kampung,
dan tiba di Jeddah dengan tubuh lelah.
Karena itu, aku menulis:
cara menjaga wudhu di kapal,
hukum mabuk laut,
bagaimana niat ihram bila kapal belum merapat,
bagaimana thawaf bagi jamaah yang lemah,
cara berhaji bagi yang tak punya biaya cukup.
Aku ingin setiap orang Jawi yang datang ke Ka‘bah merasakan bimbingan seorang ayah.
7. Uqūd al-Lujain fī Huqūq az-Zaujain
Kitab Rumah Tangga - Agar Bangsa Tidak Retak dari Dalam (1294 H; terbit 1296)
Penjajah selalu memulai dari merusak keluarga.
Karena itu, kitab ini kuisi dengan:
hak suami, hak istri,
cara mendidik anak,
cara menanamkan cinta,
etika marah,
etika meminta maaf,
adab berhubungan,
bagaimana membangun rumah sebagai taman rahmah.
Kitab ini menjadi pilar kursus pra-nikah semua pesantren Nusantara hingga hari ini.
8. Muraqil ‘Ubudiyyah
Syarah Bidayatul Hidayah - Jalan Ibadah ala Imam al-Ghazali (1289 H)
Aku membawa Ghazali ke Nusantara.
Bukan sufi melayang-layang,
tetapi sufi yang menundukkan ego dan memperkuat ibadah.
Kitab ini berisi:
bagaimana shalat malam,
adab ilmu,
pembersihan hati,
cara memerangi hawa nafsu,
bahaya riya dan takabbur.
Ini kitab yang membentuk ruh santri.
9. Tausyīḥ (Qutul Habibil Gharib)
Syarah Fathul Qarib - Bekal Kiai Desa dan Guru Mengaji (1301 H, usiaku 71)
Ini kitab fiqh menengah: detail, padat, rapi.
Kupakai untuk:
mencetak guru ngaji,
melatih calon kiai,
memantapkan pemahaman fiqh santri tingkat lanjut.
Di Jawa, siapa pun yang ingin menjadi kiai harus melewati kitab ini.
10. Nihayatuz Zain
Syarah Qurratul ‘Ain — Ensiklopedia Fiqh Syafi‘i Nusantara (1297 H)
Inilah puncak kurikulumku.
Kitab paling lengkap, paling matang, paling berpengaruh.
Di dalamnya kubahas:
fiqh ibadah,
fiqh sosial,
fiqh muamalah,
fiqh pernikahan,
fiqh warisan,
fiqh transaksi lokal Nusantara (sewa ladang, jual-beli hasil panen, dll.)
Kitab ini menjadi tulang punggung pesantren hingga abad ke-21.
EPILOG BAGIAN X: PENA YANG MENJADI PEDANG
Setiap kitab adalah benteng kecil.
Jika disusun bersama, ia menjadi benteng besar untuk bangsa Jawi.
Aku menulis dari ruang sempit di Syieb ‘Ali,
tapi setiap halaman yang mengering berubah menjadi pasukan:
pasukan guru, pasukan santri, pasukan adab, pasukan ilmu.
Dan aku tahu:
Bangsa yang faqih tidak dapat dijajah.
Bangsa yang beradab tidak dapat dihancurkan.
Bangsa yang berakidah lurus tidak dapat diputarbalikkan.
Karena itu, selama tanganku masih sanggup memegang pena, aku akan terus menulis.
Sebab bagi seorang ulama, pena yang jujur lebih tajam dari pedang yang terhunus.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banten/foto/bank/originals/Bagian-X-Ketika-Pena-Menjadi-Pedang.jpg)