Pakar Hukum Bedah KUHAP Baru: Alat Bukti, Penyitaan hingga Penyadapan
Pakar hukum mengkritisi KUHAP baru yang disahkan DPR, mulai dari aturan alat bukti pengamatan hakim hingga penyitaan barang sitaan
“Jika barang sitaan sudah dilelang atau dimusnahkan sementara terdakwa tidak terbukti bersalah, apakah harus ada gugatan perdata atau praperadilan?” ujar Binsar, mempertanyakan.
Binsar yang juga pengajar di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta itu pun meminta pemerintah dan DPR segera mengisi kekosongan hukum dan memastikan aturan dalam KUHAP baru selaras dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan, baik untuk perkara pidana umum maupun khusus, termasuk yang terkait Pengadilan HAM.
Ia mengingatkan agar tidak terjadi polemik di kemudian hari yang berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi, seperti yang menimpa beberapa pasal dalam KUHP baru.
“Jangan sampai setelah disahkan justru muncul perdebatan kusir yang berujung judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata Binsar, yang pernah mengadili kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok.
Teknik investigasi khusus: tak bisa berlaku umum
Sementara itu, pakar hukum pidana Albert Aries menyoroti teknik penyelidikan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f dan g, yaitu undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (penyerahan di bawah pengawasan).
Menurut dia, kedua teknik ini awalnya hanya dikenal dalam penanganan tindak pidana narkotika, sehingga tidak boleh diterapkan secara umum tanpa aturan pembatas yang jelas.
“Teknik investigasi khusus ini seharusnya bergantung pada undang-undang tersendiri yang mengatur batasan dan pengawasannya, mengingat kedudukannya dalam KUHAP baru berada di luar upaya paksa yang bukan obyek praperadilan,” ujar Albert.
Penyadapan dan kewenangan penyidik
Albert juga mengkritik definisi penyadapan dalam Pasal 1 angka 36 KUHAP baru, yang menyebut penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan, tetapi teknisnya diserahkan pada undang-undang khusus.
“Sesuai prinsip lex certa dan lex stricta, ketentuan ini belum jelas dan belum ketat sehingga rawan penyalahgunaan wewenang dan masih bergantung pada undang-undang lain,” ujar dia.
Terkait kekhawatiran publik bahwa Pasal 5 membuka ruang penyelidik melakukan upaya paksa, Albert menegaskan ketentuan itu bukan hal baru.
“Dalam KUHAP 1981, substansi yang sama sudah ada. Penyelidik memang baru bisa melakukan kewenangannya setelah mendapat perintah penyidik, sehingga tidak perlu dipersoalkan,” kata dia.
Praperadilan tetap jadi mekanisme kontrol utama
Albert menekankan bahwa potensi penyalahgunaan wewenang penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan sudah dapat diuji melalui praperadilan.
| Murid Kelas 5 Jadi Korban, Anggota DPR RI Geram Soal Dugaan Asusila Guru SD di Pandeglang |
|
|---|
| Adde Rosi Dorong Keluarga Berkualitas di Lebak: Bangga Kencana Jadi Kunci Indonesia Emas 2045 |
|
|---|
| Reaksi Adies Kadir dan Uya Kuya saat Divonis Tidak Langgar Etik, Ahmad Sahroni Dinonaktifkan 6 Bulan |
|
|---|
| Nasib 3 Anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Patrio dan Nafa Urbach Dijatuhi Sanksi Usai Langgar Kode Etik |
|
|---|
| Sidang Perdana MKD Terhadap 5 Anggota DPR Nonaktif Sahroni Dkk Digelar Hari Ini, Bagaimana Hasilnya? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banten/foto/bank/originals/KUHAP-baru-yang-disa.jpg)