Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres, Ahli Hukum UGM Nilai Lahir dari Cawe-Cawe Politik

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres.

Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews/Jeprima
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon presiden-calon wakil presiden. Dalam putusan MK itu ada empat dissenting opinion, yang dibuat oleh Hakim Wahidudin adam, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartojo. Menurut Zainal, dissenting opinian yang terjadi pada sidang MK lebih banyak emosi yang tampak ke publik. 

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Gugatan ini dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan, Senin.

Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi,

Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," ujar hakim Anwar Usman.

Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi,

“Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

MK menyatakan, putusan ini berlaku mulai Pemilu Presiden 2024. Adapun dalam gugatannya, pemohon menyinggung sosok Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Pemohon menilai, Gibran merupakan tokoh yang inspiratif.

“Bahwa pemohon juga memiliki pandangan tokoh yang inspiratif dalam pemerintahan di era sekarang yang juga menjabat sebagai Wali Kota Surakarta di masa periode 2020-2025,” bunyi gugatan yang dibacakan kuasa hukum pemohon secara daring dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2023).

Atas dasar itulah, pemohon berpendapat, sudah sepatutnya Gibran maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Usai MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres Cawapres, Gibran di Panggil PDIP

Namun, kemungkinan tersebut terhalang oleh syarat usia minimal capres-cawapres, lantaran Gibran kini baru berumur 35 tahun.

Adapun pada Senin siang, MK juga menolak tiga permohonan uji materi aturan yang sama yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.

Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Tanggapi Putusan MK, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar : Ada Cawe-cawe Politik, https://jogja.tribunnews.com/2023/10/17/tanggapi-putusan-mk-pakar-hukum-tata-negara-ugm-zainal-arifin-mochtar-ada-cawe-cawe-politik

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved