Bagian VII: Pelita dari Syieb ‘Ali, Kesaksian Seorang Murid

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

Editor: Abdul Rosid
Ade Feri/TribunBanten.com
Petilasan Syekh Nawawi Al-Bantani di Desa Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. 

Dalam majelis itu, setiap nama adalah cerita.

Dari Hadramaut, Sayyid Ali bin Ali al-Habsyi, pembawa tradisi maulid yang lembut dan penuh cinta.
Dari Delhi, aku sendiri, Abdus Sattar ad-Dahlawi, yang kelak menulis kisah tentang guruku ini.
Dari Makkah, Syekh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab asy-Syāthiqi al-Makki, penjaga sanad fiqh dan ahli hadits.

Dari Timur jauh, dari kepulauan hijau yang disebut Nusantara, datang para penuntut ilmu dengan langkah yang ringan namun hati berat oleh rindu kampung halaman.
Ada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mahfudz at-Turmusi, Syekh Abdul Karim al-Bantani,
Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, Syekh Zainudin al-Sumbawi, Syekh Asy‘ari al-Baweani, dan Syekh Abdul Karim al-Sambasi, penerus tarekat Naqsyabandiyyah yang disegani.

Di antara mereka, berdiri pula nama-nama besar yang kelak menjadi tiang peradaban:
KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‘ari, Syekhona Khalil Bangkalan, Kiai Sholeh Darat, Kiai Arsyad Thawil, Kiai Wasith al-Bantani, Kiai Umar Rembang, dan banyak lagi yang tak terhitung jumlahnya.

Ketika guru kami berkata,

 “Pulanglah, bawalah ilmu sebagai pelita dan cinta sebagai bahan bakarnya,”
kami mengerti — itu bukan sekadar izin pulang, tapi perintah suci untuk menerangi negeri.

Jiwa Sang Guru

Tidak pernah kulihat seorang alim seagung beliau namun serendah hati itu.
Beliau menolak gelar kehormatan, menolak hadiah dari penguasa, menolak segala bentuk pujian.
Pakaian beliau sederhana, rumahnya bersahaja, makanannya hanya kurma dan roti tipis.
Namun siapa pun yang duduk di hadapannya akan merasa seperti berdiri di hadapan gunung cahaya.

Suatu hari seorang pejabat dari Istanbul datang membawa bingkisan dan berkata,
“Wahai Syekh, ini hadiah kecil dari khalifah.”
Beliau menatap sebentar, lalu menjawab lembut:

“Jika ini untuk Allah, berikan pada orang miskin. Jika ini untukku, aku tidak membutuhkannya.”

Itulah Syekh Nawawi, di antara debu jalan Makkah dan hiruk-pikuk jamaah dunia, beliau tetap seperti air zamzam: jernih, tenang, dan menyejukkan siapa pun yang meneguknya.

Kata-Kata yang Membebaskan Dunia

Suatu sore, setelah pelajaran Fath al-Qarib, beliau menatap kami dan berkata,

“Anak-anakku, Allah menciptakan manusia merdeka.
Tidak boleh satu bangsa memperbudak bangsa lain, tidak boleh satu ras menghinakan ras lain, sebab kemuliaan hanya milik takwa.”

Kalimat itu menggema di Masjidil Haram.
Kami, para santri dari negeri terjajah, menatap satu sama lain.
Air mata mengalir tanpa disuruh.
Kami sadar inilah api kemerdekaan yang kelak membakar dunia penjajahan.

Sumber: Tribun Banten
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved