Bagian VII: Pelita dari Syieb ‘Ali, Kesaksian Seorang Murid

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

Editor: Abdul Rosid
Ade Feri/TribunBanten.com
Petilasan Syekh Nawawi Al-Bantani di Desa Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. 

Beliau mengajar dengan penuh kelembutan, namun tegas dalam adab.
Kami diajari bukan hanya membaca kitab, tapi membaca diri sendiri.

“Ilmu tanpa adab,” ujar beliau, “bagaikan pelita tanpa minyak — menyala sebentar, lalu mati dalam angin.”

Aku masih ingat bagaimana beliau sering menutup pelajaran dengan kisah: tentang ulama saleh yang menolak kekuasaan, tentang murid yang menghidupi gurunya dengan doa, dan tentang pentingnya menjaga kebersihan hati sebab hati yang kotor tak sanggup menampung hikmah.

Di malam hari, setelah pelita terakhir padam, Syekh Nawawi masih menulis.
Suara penanya terdengar lembut di antara dengung doa murid-muridnya.
Kadang aku mendengar beliau bergumam dalam bahasa Arab yang bercampur logat Jawa:

“Ya Allah, jadikan pena ini saksi bahwa kami mencintai-Mu dengan ilmu.”

Jihad Melawan Kebodohan dan Penjajahan

Syekh Nawawi tidak pernah memegang senjata. Tapi kata-katanya adalah peluru.
Dalam setiap pengajian, beliau selalu menyelipkan kalimat yang membakar jiwa:

“Kebodohan adalah penjajahan yang pertama, dan penjajahan adalah kebodohan yang terakhir.
Barang siapa menindas manusia, berarti telah menentang fitrah yang Engkau tetapkan, ya Allah.”

Ia mengutip ayat, “La ikraha fid din”, lalu berkata dengan tegas:

 “Tidak ada paksaan dalam agama, dan tidak ada kezaliman dalam kemanusiaan.
Maka penjajahan dari bangsa mana pun, adalah kufur terhadap nilai kemanusiaan.”

Santri-santri dari Nusantara mendengarkan dengan mata berair.
Kami tahu, kata-kata itu bukan sekadar tafsir itu jihad dalam bentuk paling halus, sebuah api yang menyala di dada kami untuk melawan penindasan.

Bagi beliau, jihad tidak selalu berarti perang.

“Menulis kitab untuk membebaskan manusia dari kebodohan,” katanya,
“adalah jihad yang lebih panjang dan lebih sulit daripada menghunus pedang.”

Dan benar, dari rumah di Syieb ‘Ali itu, lahirlah ratusan kitab kitab fiqh, tafsir, akidah, tasawuf, dan adab yang menyebar ke seluruh dunia Islam: dari Makkah hingga Tanara, dari Banten hingga Bawean, dari Bawean hingga Delhi.
Kami, murid-muridnya, menjadi saksi bagaimana tinta seorang ulama mampu mengguncang singgasana penjajah.

Murid-Murid dari Segala Penjuru

Sumber: Tribun Banten
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved