Bagian VIII: Mata yang Melihat, Tapi Tak Beriman

Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.

Editor: Abdul Rosid
Dok/PCNU Kabupaten Serang
Petilasan rumah Syekh Nawawi Al Bantani di Syi'eb Ali, 500 meter menuju Masjidil Haram 

“العلم نور، والنور لا يسكن قلباً غافلاً عن الله.”

Ilmu adalah cahaya, dan cahaya takkan singgah di hati yang lalai dari Allah.

Aku mencatat kalimat itu bukan sebagai murid, tapi sebagai mata-mata.
Namun malam itu, aku tak bisa tidur.
Aku menulis di buku lapanganku:

“Aku datang mencari kelemahan Islam, tapi di sini aku menemukan kekuatannya — seorang ulama yang mencintai tanpa pamrih, mengajary tanpa bayaran, dan memimpin tanpa takhta.”

Syekh Nawawi duduk bersila, wajahnya tenang bagai bulan di atas Ka‘bah.
Di sela pelajarannya ia berbicara tentang tanah air, tentang keadilan, tentang kebebasan manusia.
Aku mendengar kalimat yang menusuk:

“الظلم لا يدوم، والحرية حق كل إنسان.”

Kezaliman takkan kekal, dan kemerdekaan adalah hak setiap manusia.

Aku tertegun. Kalimat itu seolah menampar jiwaku yang telah digadaikan kepada kerajaan Belanda.
Di bawah serambi suci itu, aku tahu aku sedang menyaksikan benih kemerdekaan Indonesia sedang disemai dengan tinta dan doa.

Sekitar dua ratus santri mengelilinginya. Dari Banten, Bawean, Minangkabau, Madura, Patani, bahkan Zanzibar.
Mereka menulis di atas papan kecil, mata mereka berbinar.
Beliau berkata:

 “الظلم ظلمات، والعلم حياة للأمم.”
“Kezaliman adalah kegelapan, dan ilmu adalah kehidupan bagi bangsa-bangsa.”

Aku mencatat kalimat itu untuk kepentingan penelitian kolonial.
Tapi malam itu aku tak bisa tidur.
Kata-kata itu menembus ke tempat yang tak bisa dijangkau oleh logika ilmuwan — ke dalam hati.

Cahaya yang Menyilaukan

Setiap hari aku mengikuti pelajarannya, berpura-pura menjadi santri yang taat.
Namun di setiap sujud jamaah, aku merasa seperti pengkhianat.
Aku melihat bagaimana rumahnya di Syieb ‘Ali menjadi tempat ilmu dan kasih.
Anak-anak membaca Dalā’il al-Khairāt, istri beliau menyuguhkan teh, dan di sudut ruangan seorang santri menulis ulang naskah Nihāyatuz Zain.
Mereka miskin harta, tapi kaya jiwa.
Dan aku sarjana besar dari Leiden merasa begitu kecil di hadapan mereka.

Malam-malam panjang kulewati dengan menulis laporan rahasia untuk pemerintah Belanda.
Aku menulis:

“Kekuatan Islam bukan pada pedangnya, tetapi pada ulama-ulamanya yang hidup di hati rakyat.
Maka, untuk menguasai negeri-negeri Timur, pisahkanlah umat dari ulama.”

Sumber: Tribun Banten
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved