Bagian VIII: Mata yang Melihat, Tapi Tak Beriman
Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.
Kalimat itu menjadi dasar kebijakan kolonial selama puluhan tahun.
Namun setiap kali akuy menulisnya, tanganku bergetar.
Sebab aku tahu, aku sedang menulis naskah penghancuran bagi bangsa yang dicintai Tuhan.
Cinta dan Dusta
Suatu hari, aku mendengar kabar:
Syekh Nawawi menulis tafsir besar berjudul Marāh Labīd.
Aku mencoba mendapatkannya, dan saat membaca mukadimahnya, aku menangis.
Di situ ia menulis:
“Segala puji bagi Allah, yang menjadikan ilmu sebagai cahaya bagi hati yang mencari kebenaran.”
Aku menutup kitab itu dengan gemetar.
Aku, yang datang untuk memadamkan cahaya itu, justru terbakar oleh sinarnya.
Aku mencintai Islam, tapi tak berani mengimaninya.
Aku mengagumi Syekh Nawawi, tapi tak sanggup mengakuinya sebagai guru.
Aku hidup di antara dua nama: Snouck, sang pengintai, dan Abdul Ghaffar, sang murid yang tak pernah berani bersyahadat dengan tulus.
Di Balik Bayangan Kekuasaan
Tahun-tahun berikutnya aku kembali ke Hindia Belanda.
Aku menjadi penasihat pemerintah kolonial, membantu menaklukkan Aceh.
Aku menulis laporan panjang kepada Gubernur Jenderal:
“Pisahkan urusan agama dari urusan politik. Jangan lawan ulama dengan pedang, tapi dengan ulama gadungan yang tunduk pada kita.”
Laporan itu menjadikanku tokoh penting dan pengkhianat besar dalam sejarah umat.
Namun setiap kali kudengar kabar bahwa ulama-ulama Aceh gugur dalam jihad, aku teringat wajah Syekh Nawawi dan para santrinya di Makkah.
Di setiap peluru yang ditembakkan ke dada mereka, aku seperti mendengar suara Syekh Nawawi berkata:
Ilmu tanpa iman hanyalah racun bagi dunia.”
Penyesalan di Ujung Usia
Tahun-tahun tua kuhabiskan di Leiden, menulis buku Mekka, mengajar tentang Islam kepada murid-murid Eropa.
Aku dipuji sebagai ilmuwan, tapi di dalam hati aku tahu aku telah mencuri rahasia umat, dan memberikannya kepada penjajah.Setiap malam aku mendengar gema azan dari masa lalu, dan bayangan Makkah menari di pikiranku.
Aku menulis halaman terakhir Ṣafahāt min Tārīkh Makkah al-Mukarramah dengan tangan gemetar:
“Aku datang untuk meneliti iman,
tapi akulah yang justru diperiksa oleh iman.”
Malam itu aku menutup buku, dan dalam sepi aku berbisik:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.