Bagian IX: Tinta yang Menjadi Peradaban
Penulis Muhamad Roby, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Serang. Aktivis sosial-keagamaan, dan penulis lepas yang konsisten mengulas demokrasi.
Aku menulis agar pembaca bisa berjalan dari iman tahu menuju iman merasa,
dan dari iman merasa menuju iman menyaksikan.
9. Jalan Menuju Iman Tertinggi
Ada tiga kunci agar iman naik tingkat dan tak layu:
1. Dzikir yang sadar – bukan sekadar lafazh, tapi hati yang hadir.
Lafazh tanpa hati seperti jasad tanpa ruh.
Barang siapa berdzikir dengan sadar, Allah mengajarinya tanpa suara.
2. Ilmu yang beradab – karena ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan.
Aku selalu berpesan:
“Jika engkau ingin Allah membukakan makrifat, tunduklah di hadapan guru.”
3. Amal yang ikhlas – amal kecil dengan niat bersih lebih tinggi daripada amal besar dengan riya’.
Sebab Allah menimbang hati sebelum menimbang perbuatan.
Dan jika engkau bertanya padaku, apa tanda seseorang telah mencapai iman tertinggi?
Aku akan menjawab lembut:
“Ia tak lagi bangga dengan imannya, sebab ia sadar bahwa iman itu bukan miliknya, melainkan anugerah Allah.”
Ia bukan kehilangan iman, tapi merasa malu di hadapan Sang Pemberi Iman.
Ia takut hatinya sombong seolah bisa beriman tanpa pertolongan-Nya.
Maka ia terus berdoa sebagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan:
“Yā Muqallibal Qulūb, tsabbit Qalbī ‘alā Dīnik.”
“Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”
Itulah derajat tertinggi iman, kesadaran penuh bahwa segala iman adalah rahmat, dan di sanalah lahir kefakiran sejati di hadapan Allah, kefakiran yang justru melahirkan kekayaan ruhani tiada batas.
10. Penutup: Tinta yang Menjadi Nur
Dari rumah kecilku di Syieb ‘Ali Makkah, aku menulis dengan tinta yang kularutkan dari doa-doa Tanara.
Tinta ini kini mengalir ke seluruh pesantren Nusantara: dibaca, disalin, dan disuarakan di langgar-langgar.
Aku tidak menulis untuk dikenang, aku menulis agar bangsaku merdeka dari kebodohan dan kejumudan.
Agar mereka tahu, menjadi hamba Allah adalah puncak kemerdekaan.
“Ilmu adalah darah, dan darahku mengandung jihad.”
Inilah tinta yang menjadi peradaban bukan karena aku menulisnya, tapi karena aku meneteskan seluruh cintaku di dalamnya.


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.